Merah tanah berdebu di ranting patah
memberikan kenyamanan siburung pungguk bertengger di senja kala
menatap surya yang lelah bekerja mengitari separuh dunia
membawa selembar cerita dan sebuah dongeng para tetua
pada kenangan selaksa peristiwa yang tercatat di ujung cakrawala
Merah tanah berdebu di ranting patah
cahaya dan hangat mu mendekap tubuh anak negeri yang mengigil kaku
nyanyian mereka adalah sembilu yang menyayat hati
terkikis oleh roda zaman hingga tulang ibu-ibu memutih
memisahkan antara atah dan bernasnya padi
menampi harapan hidup untuk bisa belanja esok hari
alaaaa.. bunda …. Alangkah susahnya hidup ini
tergambar pada guratan wajah mu
menyempurnakan bias sinar senja yang tak pernah berjanji
teriris perih dan tak perduli
alaaaaa.. bunda…betapa timpangnya dunia
jeritan hati mu adalah nyanyian penikmat diri
dihibur wajah lugu anak-anak pinggir kali
riang bergurau di tepian sungai kelekar merayakan tibanya malam
melepas keriuhan pada rembulan
lukisan anak-anak yang terlupakan
yang tak pernah ganti baju sekolah merah putih.
Yang tak berani berharap penuh
Yang selalu membersihkan sisa debu dan tanah merah
Dengan ilalang penghilang daki
dan sisa onggokan sampah oleh kalangan pagi tadi
disaksikan rumput yang merana
terinjak bekas telapak kaki sang penguasa ,
Cuma bisa melambai pada sang kala
tolong kami, tolong lah kami
tak ada hati yang meratap seperti ini
tiada gurindam yang dapat menghibur lagi
karena raja dan peri telah pergi dari negeri
bersembunyi………….
ditepian huma sunyi sebagai topeng penghias diri.
Alaaaa bunda….engkau selalu sendiri dengan senyum tidurmu sampai pagi.
Untuk melihat anak-anak di kali mandi
Bermain lagi.
Sampai akhir hayat kah begini?
(Sungai kelekar di senja hari)
21/desember/2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar