Tak Ada Dosen Berpendidikan S1 pada 2014

ada 2014 nanti, tak akan ada lagi dosen yang masih berpendidikan S1. Pasalnya, pemerintah mewajibkan pendidikan dosen minimal S-2 (master). Bagi yang belum memenuhi standar itu, pemerintah menyediakan program beasiswa.

''Tahun ini disediakan 5.500 paket beasiswa S-2 yang bisa diperebutkan dosen, baik di perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta,'' ujar Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti), Depdiknas, Fasli Jalal dalam acara Rembug Nasional 2009, Selasa (24/2).

Menurut Fasli, saat ini tercatat ada sekitar 155 ibu dosen yang tersebar di perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS). Dari jumlah itu, 75 ribu di antaranya adalah pegawai negeri sipil (PNS). Sebanyak 65 ribu dosen PNS tersebut mengabdi di PTN, dan 10 ribu dosen PNS diperbantukan ke PTS.

Dari 155 ribu dosen yang tercatat, kata Fasli, baru separuhnya yang memiliki kualifikasi pendidikan S-2 dan S-3. Jumlah terbesar berada di PTS, sebesar 60 persen. ''Di PTN, dosen yang masih S-1 tinggal 35 persen. Jumlah yang cukup besar. Mengingat masih ada politeknik atau akademi yang setara dengan program diploma masih menerima dosen dengan latar belakang pendidikan S-1,'' cetusnya.

Untuk meningkatkan kualifikasi pendidikan para dosen, lanjut Fasli, pihaknya sejak beberapa tahun terakhir ini menggelar program beasiswa S-2 yang dananya diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan undangan dari luar negeri. Tahun lalu, beasiswa diberikan kepada 1.100 dosen untuk menempuh pendidikan S-2 baik di perguruan tinggi dalam negeri atau luar negeri.
''Tahun ini paket beasiswa yang tersedia sebanyak 5.500 orang. Sebanyak 300 beasiswa dari PT luar negeri. Dan tahun 2010 mendatang ditargetkan jumlahnya menjadi 13 ribu orang,'' jelasnya.

Hal itu, kata Fasli, terkait dengan target pemerintah yang akan meningkatkan pendidikan dosen dari S-1 menjadi S-2 sebanyak 60 ribu orang selama lima tahun ke depan. Dengan demikian, pada 2014 tidak ada lagi dosen yang berpendidikan S-1.

Untuk menghemat APBN, saat ini ditempuh model perkuliahan S-2, yaitu satu tahun di PT tanah air dan 1 tahun ditempuh di PT luar negeri. ''Sehingga para dosen itu memiliki dua ijazah dari dalam maupun luar negeri. Biayanya jadi lebih hemat,'' tegasnya. eye/ism

Adam Smith dan Pelajaran Berharga dari Skandal Keuangan di AS

Bukannya orang menjadi lebih serakah dalam generasi ini. Tetapi, peluang untuk mengekspresikan keserakahan telah berkembang menjadi sangat besar.
Federal Reserve Chairman, Alan Greenspan
SEMUA mahasiswa ekonomi tentu mengenal Adam Smith yang sohor dengan teori ”tangan tak kelihatan” yang menjadi dasar teori pasar bebas kapitalisme. Teori ini mengatakan individu yang bertindak untuk kepentingan pribadi justru makin meningkatkan kesejahteraan publik yang jauh lebih baik dibandingkan dengan segala usaha yang diarahkan negara.

Di dalam buku terkenal, The Wealth of Nations, Smith menulis: ”Dengan mengejar kepentingan pribadi, seseorang meningkatkan kesejahteraan masyarakat jauh lebih efektif daripada apabila secara sadar ia mencoba memperbaiki kesejahteraan masyarakat.”
Menurut teori Smith, para pelaku bisnis atau pemilik modal yang mencoba mengejar kepentingan pribadinya akan mencari keuntungan sebesar-besarnya, pegawai berusaha mencari gaji setinggi-tingginya, sementara konsumen berusaha membeli barang semurah-murahnya. Dari interaksi inilah sumber daya dapat dialokasikan secara efisien di dalam ekonomi pasar.

Perusahaan seperti Enron, Worldcom, Xerox, Merck, Tyco, dan Global Crossing juga menganut prinsip ini. Mereka berusaha mendapatkan untung paling besar. Hal ini juga berlaku pada Arthur Andersen yang menjadi auditor Enron dan para investment banker, analis yang merekomendasikan saham-saham tersebut. Semua profesional dari berbagai kelompok ini tentu saja mencoba bertindak demi kepentingan masing-masing. Sayangnya, prinsip bertindak untuk kepentingan masing-masing ini kebablasan dan berubah menjadi keserakahan yang mewabah. Alan Greenspan mengatakan keserakahan yang mewabah telah melanda dunia bisnis.

Keserakahan yang mewabah ini tidak sejalan dengan teori Adam Smith sebab justru mengakibatkan nilai portfolio dari investor hancur, kredibilitas akuntan dan analis keuangan turun, perusahaan-perusahaan bangkrut, dan dikhawatirkan hal ini justru akan memperburuk krisis ekonomi yang mengancam dunia.

Skandal keuangan yang terjadi di Amerika Serikat yang dimulai dengan skandal Enron, Worldcom makin terus menekan kinerja Bursa Saham di Amerika. Skandal keuangan ini membuat masyarakat perlu mengamati lebih lanjut peran eksekutif perusahaan (CEO dan CFO), perusahaan akuntan, investment banker, investor, dan regulator dalam kontribusinya terhadap krisis keuangan. Masalah tentang corporate governance, transparansi laporan keuangan, kredibilitas dari akuntan, independensi dari analis keuangan terus menjadi topik yang menjadi perhatian investor.

***

KESERAKAHAN yang mewabah sebenarnya bisa terlihat dari pergerakan Dow Jones Industrial Average dan NASDAQ dalam delapan tahun terakhir ini. Indeks DJIA meningkat dari level 2.000 menjadi sekitar 4.000 dalam kurun tahun 1987-1994. Indeks DJIA meningkat tajam dari level 4.000 dan mencapai puncaknya di level 11.722 di Januari 2000, sebelum mulai turun tajam dan pada saat sekarang di sekitar level 8.500-an.

Pola kenaikan dan penurunan yang luar biasa juga terlihat pada indeks NASDAQ. Dari suatu hasil survei independen yang dilakukan di AS, hampir 70 orang menganggap dirinya investor. Hal ini mengakibatkan naiknya jumlah pool of money ke dalam bursa saham dan menyebabkan kenaikan sangat tajam dari indeks saham industrial average Dow Jones sampai tahun 2000 sebelum akhirnya market-bubble ini pecah dalam dua tahun belakangan.

Salah satu sebab utama dari kebangkrutan Enron adalah sikap serakah dari eksekutif senior yang didukung oleh sistem insentif kompensasi yang keterlaluan. Insentif yang dimaksud adalah sistem stock option yang mengizinkan eksekutif membeli saham dari perusahan yang mereka kelola. Sering kali jauh di bawah harga pada waktu itu.
Sistem ini menyebabkan eksekutif perusahaan mencoba memaksmimalkan nilai saham dari perusahaan. Meningkatkan nilai perusahaan memang telah menjadi kredo bagi para ekseutif, tetapi sayangnya meningkatkan harga saham kadang-kadang dilaksanakan dengan cara yang tidak etis dan sering kali melanggar aturan atau hukum. Perusahaan menjadi cenderung memalsukan atau memberikan keadaan keuangan yang tidak akurat dan dibesar-besarkan asalkan harga saham mereka terus naik.

Sebab lain dari kegagalan adalah kurangnya independensi akuntan dan analis keuangan. Ketidakakuratan dari data-data keuangan sering kali juga tidak ”tertangkap” oleh tim audit. Dalam hal ini, kredibilitas akuntan menjadi pertanyaan. Tidaklah mengejutkan bila hal ini sampai terjadi. Soalnya, dalam banyak kasus, perusahaan akuntan yang melakukan audit pada saat yang bersamaan juga memberikan jasa konsultasi kepada perusahaan tersebut. Ketakutan akan kehilangan account yang penting sering kali membuat tim audit tidak membeberkan indikasi terjadinya ketidakwajaran dalam pembukuan.

***

SEBAB lain dari skandal keuangan di AS adalah peran dari investment banker. Era tahun 1990-2002 merupakan era terjadinya pergeseran dari pola bisnis investment banker. Independensi analis yang merekomendasikan saham-saham kepada investor menjadi pertanyaan besar. Meskipun ada pemisahan antara fungsi riset (yang memberikan rekomendasi) dan fungsi keuangan perusahaan (yang membantu perusahaan dalam pengumpulan dana), sering kali kompensasi dari analis dikaitkan dari deal keuangan perusahaan yang didapatkan oleh perusahaan.
Banyak analis yang tidak punya keberanian memperingati investor tentang risiko dari perusahaan-perusahaan tertentu karena perusahaan di mana mereka bekerja mungkin punya relasi keuangan perusahaan. Sudah bukan rahasia lagi bagaimana independensi dari riset sering kali hanya isapan jempol belaka sebab rekomendasi dari analis cenderung disesuaikan berdasarkan ”pesan sponsor”.
Nilai pasar dari sebuah produk riset sangat bergantung pada kredibilitas. Selama kompensasi dari seorang analis masih berdasarkan revenue yang didapatkan dari bisnis keuangan perusahaan, maka mimpi untuk mendapatkan seorang analis bursa yang independen akan sia-sia. Selama perusahaan tidak dapat menjual produk riset sebagai produk komersial independen, maka hasil riset yang benar-benar independen akan sulit tercapai.

Iming-iming yang besar merupakan alat yang biasanya dipakai oleh perusahaan untuk memanipulasi investment banking. Sering kali investment banker tidak layak mendapatkan iming-iming sedemikian besar. Iming-iming sering kali bukan lagi merupakan pembayaran yang wajar untuk jasa yang diberikan, tetapi malah hampir terlihat sebagai ”sogokan” untuk pengesahan dari investment banker. Banyak investment banker yang melihat bahwa iming-iming yang besar merupakan ”upah” yang layak karena perusahaan ”mengorbankan” reputasi mereka demi klien. Masih segar di ingatan kita bagaimana Asia Pulp & Paper membayar hampir 50 juta dollar AS per tahun untuk iming-iming investment banking.

Ironisnya, posisi investor di dalam kasus skandal keuangan ini bukan hanya sebagai korban, tetapi juga pihak yang turut bersalah. Di dalam pengalaman penulis sebagai analis saham, sering kali investor besar justru cenderung menutup-nutupi terjadinya skandal. Para investor malah cenderung marah apabila analis menulis hal buruk yang terjadi pada perusahaan yang sahamnya mereka pegang.

Para investor ini sering kali malah cenderung menutup mata terhadap kebobrokan-kebobrokan dari perusahaan yang sahamnya mereka pegang asalkan harga saham tidak turun. Semua ini disebabkan oleh keinginan para investor ini harga saham yang mereka pegang tak turun lantaran kebobrokan muncul di permukaan. Sikap toleransi perusahaan ini makin menambah suburnya perilaku yang tidak baik dari eksekutif perusahaan. Hal yang harus diingat oleh para investor adalah mencoba mengamati sikap mereka terhadap kinerja perusahaan dan harga saham.

Institusi keuangan di Amerika sering kali menguliahi negara-negara Asia semasa krisis keuangan melanda Asia tentang corporate governance dan transparansi yang buruk. Namun, kasus yang melanda Enron benar-benar menunjukkan lemahnya corporate governance dari perusahaan di AS. Pada awal krisis Enron, banyak pihak yang mengatakan bahwa Enron merupakan pengecualian. Namun, timbulnya skandal akuntansi baru yang melibatkan Worldcom dan Global Crossing membuktikan bahwa masalah ini cukup mewabah di perusahaan Amerika.

Pemerintah AS telah mengambil beberapa langkah untuk memperbaiki transparansi ini dengan, antara lain, meminta sertifikasi dari CEO dan CFO tentang akurasi data keuangan. Caranya, Pemerintah AS menetapkan tenggat 14 Agustus 2002 kepada 1.000 perusahaan publik teratas di Amerika untuk mendapatkan sertifikasi dari CEO dan CFO tentang keakuratan dan reliabilitas dari laporan keuangan.

Apabila perusahaan tersebut terbukti melakukan praktik penyelewengan akuntansi sesudah 14 Agustus, maka pejabat tinggi perusahaan tersebut dapat dituntut secara personal. Dengan adanya tenggat ini tentu saja penulis memperkirakan akan lebih banyak 1.000 perusahaan teratas di Amerika yang membuka borok-boroknya. Mungkin hal ini makin memperburuk kinerja saham-saham di Wall Street. Tetapi, dengan tindakan ini, sebenarnya Pemerintah AS akan mempersingkat masa krisis dan dapat dengan cepat memulihkan kepercayaan investor.

***

PADA awal tahun ini, perusahan pengelola dana pensiun terkemuka Calpers, yang berbasis di California dan mengelola uang hampir 150 milyar dollar AS, memutuskan untuk mencabut investasi mereka di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina karena alasan corporate governance dan transparansi. Saya masih ingat chairman dari Calpers, Michael Flaherman, awal tahun 2002 mengatakan, ”Negara-negara berkembang lainnya yang tidak berada di dalam daftar investasi kami seharusnya melihat tindakan pencabutan investasi ini sebagai insentif untuk memperbaiki sistem keuangan mereka.”

Yang menjadi ironi sesudah Calpers mencabut investasi mereka di kedua negara ini, Indonesia dan Thailand menjadi dua dari tiga pasar saham dengan return terbaik (+43,89 persen dan +41.93 persen) di dunia. Sementara Calpers mungkin harus kehilangan hampir 565 juta dollar AS investasi mereka di Worldcom.

Apa yang harus menjadi pelajaran dari kasus ini?
Pertama, corporate governance bukan hanya masalah di negara berkembang, tapi juga di negara maju.
Kedua, cara negara memperbaiki kesalahan tersebut sangat penting untuk memulihkan kepercayaan publik.
Ketiga, meskipun sikap serakah merupakan hal baik di dunia kapitalis, bila banyak orang yang terlalu serakah dengan mengabaikan aturan dan melanggar hukum, menjadi tidak baik untuk masyarakat secara keseluruhan.
Saya tidak sependapat dengan judul yang dipakai oleh Dr Sjahrir di harian ini Skandal Akuntasi: Akhir Kapitalisme AS. Bagi saya, sistem kapitalis masih berjalan dan merupakan salah satu cara yang paling efisien di dalam mengalokasikan sumber daya. Cuma mesti dicatat, semua pihak termasuk eksekutif, investment banker, akuntan, investor, dan regulator harus dapat lebih merenung dan mencoba mengubah perilaku mereka untuk mendapatkan tatanan pasar yang lebih baik bagi semua pihak.

* Tulisan ini merupakan pendapat dan tanggung jawab pribadi penulis.

Setitik Pahala


Pesan bergambar by Riduan

guru SMA 1 Kayuagung Belajar BLOG.

guru SMA 1 Kayuagung Belajar BLOG. karena merasa blog lebih up date terhadap area kerja yang semakin ngenet sekarang dan memang sangat diperlukan sebagai sarana dan media belajar yang asyik gitu lho..